Sunday, 2 March 2014
Agus Harimurti Yudhoyono (TN 5), Pengawal Garuda
Mayor (Inf.) Agus Harimurti Yudhoyono, M.Sc, MPA. membuktikan bahwa ia bukan semata putra presiden. Perwira militer yang saat ini bertugas sebagai Kepala Seksi di Brigade Infanteri Lintas Udara 17 Kostrad ini mulai mengukir jejak karir dan sejarahnya sendiri. Kepada Best Life, penggagas komunitas lari Garuda Finishers ini menuturkan visi dan misi kepemimpinannya, serta perjalanan karirnya sebagai perwira militer.
Melihat sosok dan prestasinya, rasanya kita akan meyakini bahwa pria ini rasanya memang pantas menjadi pemimpin Indonesia masa depan. Ketika masyarakat ramai menyebut sejumlah nama tokoh muda yang berprestasi dan inspiratif, Mayor Inf. Agus Harimurti Yudhoyono, M.Sc, MPA muncul tanpa banyak bicara.
Kami menemui putra sulung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini, pada suatu sore di pertengahan September lalu di Wisma Negara. Sore itu, Agus Harimurti tampil berkemeja putih berbalut setelan jas berwarna navy blue dengan dasi dan aksen saputangan bernuansa biru muda. Komposisi warnanya elegan sekaligus tegas.
Sejenak kemudian, Agus membawa kami menuju Istana Negara yang terletak satu kompleks dengan Wisma Negara. Langkahnya tegap. Sorot matanya tajam. Ada sebersit pertanyaan yang tiba-tiba muncul saat kami berjalan di sisinya.
Jika saat ini ia sudah menjejakkan kakinya di istana, mungkinkah ia berencana bahwa suatu saat kelak ia akan kembali sebagai RI 1 ?
Agus menarik nafas panjang. Di wajahnya tersungging seulas senyum. Ia terus berjalan dengan langkahnya yang panjang.
“Saya tidak pernah berpikir ke arah itu,” ujar Agus singkat.
“Bapak dan ibu saya selalu berpesan kepada kami anak-anaknya, untuk tetap fokus dengan apa yang kami kerjakan sekarang,” ia menambahkan.
“Apa pun yang saya dan adik saya (red: Edhie Baskoro Yudhoyono) kerjakan saat ini, saya di militer dan adik saya di bidang politik, harus kami jalankan dengan sebaik baiknya.”
Bukan basa basi belaka jika Agus Harimurti menjauhi ranah politik dan lebih berkonsentrasi pada karir militernya. Pria kelahiran Bandung ini memang sudah mengukir karir yang gemilang dalam bidang militer yang menjadi pilihan hidupnya.
“Tidak pernah ada yang memaksa saya untuk menjadi prajurit,” tutur Agus yang mengidolakan ayahandanya, Susilo Bambang Yudhoyono, dan sang kakek, Sarwo Edhie Wibowo.
“Saat masih anak-anak dan remaja, saya sangat mengidolakan mereka berdua. Keduanya sama-sama perwira militer yang mumpuni sekaligus mencintai dan dicintai bawahan dan koleganya,” Agus tersenyum bangga mengenang itu.
“Ada banyak nilai positif yang saya pelajari dari keduanya. Mungkin karena terinspirasi oleh mereka berdua saya jadi merasa ingin dan harus menjadi tentara.”
Termotivasi oleh semangat dan nilai-nilai positif sebagai prajurit militer, selulus dari SMP, Agus memilih SMA Taruna Nusantara Magelang sebagai Kawah Candradimukanya yang pertama. Pada tahun 1997, Agus lulus dengan predikat terbaik dan meraih medali Garuda Trisakti Tarunatama Emas. Prestasi ini kian menguatkan niat Agus untuk bergabung dengan Akademi Militer Magelang.
Selama pendidikan militer, sederetan penghargaan ia raih atas prestasinya diantaranya, penghargaan Tri Sakti Wiratama, pedang Tri Sakti Wiratama serta medali Adhi Makayasa, saat lulus dengan gemilang dari Akademi Militer.
Sejak itu karir militer Agus mulai diperhitungkan. Ia kemudian memutuskan untuk bergabung dengan jajaran Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD). Pada tahun 2002, ketika Agus menjabat sebagai Komandan Peleton di Batalyon Infanteri Lintas Udara 305/ Tengkorak, jajaran Brigif Linud 17 Kostrad, Agus diterjunkan ke Aceh untuk melakukan Operasi Pemulihan Keamanan.
Tantangan demi tantangan tugas sebagai perwira militer terus dilalui Agus dalam menjalankan tugas. Termasuk saat ia mengalami cedera dalam tugasnya di Aceh dan terpaksa harus dievakuasi ke Jakarta. “Saya sempat down. Saya tidak mau meninggalkan anak buah saya di sana. Apa pun kondisinya, saya harus mendampingi mereka!” kenang Agus.
Dokter jelas melarang keras karena saat itu Agus memerlukan perawatan. Setelah menjalani perawatan dan fisioterapi selama beberapa bulan, kondisi Agus membaik. Ia kembali mengajukan permohonan untuk kembali ke lapangan. Namun saat itu, dokter belum mengijinkan. Tetapi Agus bersikukuh. Alhasil, dokter akhirnya menuruti perwira militer ini, dengan satu syarat.
“Saya tidak boleh bertugas memimpin pasukan di lapangan. Saya dipindahtugaskan di belakang meja,” tutur Agus yang dipindahtugaskan di media center. Agus tersenyum karena ia tidak pernah membayangkan akan ditugaskan di situ.
“Saya sempat kaget. Saya tentara. Saya tidak tahu apa-apa tentang media center.”
Tapi bukan Agus Harimurti Yudhoyono jika ia tidak bisa membaca peluang di tengah kondisi yang tidak sesuai harapannya semula. Di pos barunya itu, Agus belajar banyak hal baru termasuk terus mengasah kemampuannya menulis.
“Ketika kita jatuh atau gagal, yang jadi perhatian seharusnya bukan kegagalannya. Tetapi bagaimana kita bangkit dari kegagalan itu. Kegagalan itu membuat kita sadar bahwa kita hanya manusia biasa, sehingga kita tidak menjadi sombong,” kata Agus.
Beratnya tugas sebagai prajurit militer memang sudah menjadi menu utama dalam karir pria yang pernah mengenyam pendidikan Master of Science in Strategic Studies dari Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University Singapura.
“Meskipun kita sudah terlatih, dalam setiap medan pertempuran, selalu ada resiko terluka atau terbunuh. Kita harus tetap tenang. Supaya kita juga bisa menenangkan keluarga yang kita tinggalkan di rumah,” ujar Agus dengan nada serius.
Pada pertengahan tahun 2006, ketika pecah perang antara Israel dan Hezbollah, Agus kembali ke medan konflik. Saat itu, Agus yang tergabung dalam Kontingen Garuda XXIII-A, tiba di lokasi pada bulan November dimana suasana perang masih terasa.
“Ketika kita bertugas di medan konflik, kita harus tahu betul posisi kita di sana,” tutur Agus yang kala itu bertindak sebagai Pasiops Batalyon Infanteri Mekanis Kontingen Garuda XXIII-A.
“Kita harus sadar apa tugas kita sekaligus tetap humble saat berada di wilayah lain. Jangan karena kita memberikan bantuan lalu kita bisa bersikap arogan kepada masyarakat setempat.”
Tidak hanya omong kosong, Agus yang memiliki prinsip ‘Think big, do small, do now’ ini bersama para perwira lainnya, di bawah arahan Komandan Satuan Tugas dan para perwira senior, berhasil mengambil hati masyarakat lokal melalui program Smart Car (Mobil Pintar) yang terinspirasi dari gagasan Ibu Negara. Hasilnya, Kontingen Garuda XXIII-A menjadi kontingen yang cair dengan masyarakat setempat.
“Sama halnya dalam seni kepemimpinan, kita harus mampu memenangkan hati dan pikiran masyarakat sekitar. Pahami kesulitan dan permasalahan mereka, lalu tawarkan solusi. Dengan begitu kita bisa diterima masyarakat yang sedang berada dalam ketidakpastian akibat konflik,” ujar Agus membagi kiatnya.
Berkat keberhasilannya dalam menjalankan tugas di Lebanon, Agus pun menerima Medali PBB serta Medali Penghargaan dari Pemerintah dan Angkatan Bersenjata Lebanon.
Menelusuri jejak karir kemiliteran Agus terasa sangat panjang. Agus yang tampaknya selalu haus menimba ilmu dan memperkaya wawasan lalu memilih mengikuti seleksi program master di Harvard University, Amerika Serikat, selepas ia membantu para seniornya membentuk Universitas Pertahanan di Jakarta. Selulusnya dari program Master in Public Administration dari Harvard University pada tahun 2010 dengan predikat sangat memuaskan, nama Agus Harimurti Yudhoyono dalam bidang kemiliteran kian melambung.
Setelah kelulusannya yang gemilang, Agus pun terpilih sebagai peserta dalam The Young Future Defence Leader Workshop yang diprakarsai oleh Kementerian Pertahanan. Hasilnya, Agus ditugaskan kembali ke Amerika Serikat untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Lanjutan Perwira di Fort Benning, Georgia. Dalam pendidikan ini, Agus terpilih sebagai lulusan terbaik dan berhak atas penghargaan dari lembaga tersebut berupa medali ‘Order of Saint Maurice’ dari the US National Infantry Association.
Namun ibarat pepatah, semakin tinggi pohon, semakin kencang pula angin yang bertiup, Agus pun tidak lepas dari terpaan komentar-komentar bernada miring. Bahwa wajar saja Agus mengantongi semua prestasi itu karena ia adalah anak presiden.
“Jujur pertama kali mendengar komentar seperti itu, saya sempat merenung. Mengapa kita tidak bisa menghargai kontribusi positif dan prestasi orang lain?” Agus tersenyum sambil menawarkan retorika. Tidak berhenti di situ, fasilitas yang seharusnya menjadi haknya sebagai putra presiden pun menjadi sorotan.
“Saya kebetulan merupakan putra presiden. Dan sama seperti anak-anak presiden lainnya di dunia, saya masuk ke dalam jajaran VVIP yang mendapat perlindungan. Bahwa salah satu tugas TNI adalah mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya. itu ada dalam Undang Undang Nomor 34 tentang tugas TNI,” urai Agus, panjang.
“Jujur awalnya saya canggung, karena saya juga personel militer aktif. Untuk apa dikawal segala. Tapi ternyata kalau saya menolak fasilitas itu, malah saya yang melanggar Undang Undang,” kata Agus.
“Fasilitas lain? Saya tidak melihat ada yang luar biasa. Karena saya berusaha untuk selalu menempatkan diri secara wajar di mana pun saya berada, sesuai dengan jabatan dan pangkat saya saat ini.” Agus merasa nyaman karena ia juga tidak merasa diperlakukan berlebihan dan sangat istimewa. Kini ia merasa lebih santai menanggapi komentar semacam itu.
“Lebih baik kita berkontribusi nyata untuk masyarakat, sekecil apa pun.”
Berbicara tentang kontribusi kepada masyarakat, Agus kembali membuktikan bahwa ia tidak sekedar bicara. Pria penggemar olah raga lari tersebut lalu menggagas lahirnya komunitas lari Garuda Finishers yang didirikannya Mei lalu.
“Siapa pun bisa bergabung dalam komunitas ini. Tidak terbatas pada anggota militer. Karena tujuan kami adalah membangun interaksi positif antar berbagai elemen masyarakat,serta membangun semangat kebersamaan dan sportivitas,” ujarnya. Maka digelarlah sejumlah agenda lari yang mengusung semangat kebersamaan dan sosial seperti program penghijauan dan memberi bantuan kepada panti asuhan dan masyarakat kurang mampu.
Agus kemudian memprakarsai kelompok lari 17 Tough Warriors pada peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-68, Agustus lalu. Ajang ini didedikasikannya untuk para pahlawan dan prajurit TNI yang gugur di medan tugas. Para pelari yang terdiri dari anggota militer harus berlari sepanjang 17 kilometer dengan membawa perlengkapan tempur seberat 17 kilogram.
“Saya berharap ajang ini bisa menjadi tradisi tahunan,” ujar Agus.
Agenda Agus di dalam dan di luar kesatuannya masih panjang. Satu yang pasti, Agus berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan berhenti bekontribusi.
Nilai filosofis yang dipetiknya dari olah raga lari semakin membuat pria ini tidak pernah setengah- setengah dalam menjalankan semua yang telah menjadi pilihannya. “It doesn’t matter how fast or how slow you are, just run and finish what you have started,” kata Agus.
Keseimbangan Hidup
“Yang unggul bukan orang yang paling pintar dan orang yang paling kuat. Tetapi orang yang paling seimbang hidupnya.”
Alokasi waktu
Pekerjaan, keluarga dan kewajibannya dalam sebagian agenda formal kenegaraan menuntut Agus mampu mengatur waktunya. “Saya harus bisa membagi waktu dan konsentrasi dengan tepat,” ujar Agus.
Kualitas, bukan kuantitas
“Nasehat dari orang tua saya, bukan kuantitas pertemuan yang kita perlukan, tapi kualitasnya,” tutur Agus. “Meski hanya seminggu sekali bertemu dengan orang tua saya, tapi saya bisa berdiskusi panjang dan mendapat banyak masukan.”
Olah raga bersama
Hobi lari Agus juga didukung istrinya Annisa Lasarasti Pohan yang turut serta berlari dalam ajang Independence Day Run, Agustus lalu. Saat berlatih di rumah, Agus kerap mengajak putrinya, Almira Tunggadewi Yudhoyono (5 th).
Membaca bersama
Meski tidak bisa setiap saat menemani anaknya bermain, Agus mampu menyiasati waktunya dengan baik. “Biasanya kami ke toko buku. Anak saya suka membaca. Dia sudah bisa membaca buku untuk anak, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris,” ujar Agus yang juga membacakan dongeng sebelum tidur untuk putri tercintanya.
Gaya Kepemimpinan
Inilah kiat Mayor (Inf.) Agus Harimurti Yudhoyono, M.Sc, MPA. dalam memimpin serta membangun tim di dalam dan di luar kesatuannya. “Kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhi orang lain agar mereka mau melakukan dengan ikhlas apa yang kita harapkan,” Agus mendefinisikan.
No trade off
Bangkitkan keterpanggilan dalam diri anak buah Anda sehingga ketika mereka melakukan apa yang Anda harapkan, tidak ada transaksi apa pun. Ingat, tidak ada bonus ataupun sangsi yang mengiringi tugas tersebut.
Pimpin dengan hati
Untuk mendapatkan pengaruh itu, Anda harus memimpin dengan hati. Win the hearts and the minds of your soldier’s. Pahami kesulitan dan permasalahan mereka, lalu tawarkan solusi.
Visi, misi dan solusi
Pemimpin harus bisa menetapkan visi, misi dan mampu memberikan solusi, sehingga anak buah bisa mendapatkan arahan. Anak buah akan mengikuti pemimpin yang memiliki visi jelas dan mampu memberikan solusi.
Kemampuan pendukung
Lengkapi anak buah Anda dengan kemampuan untuk menyelesaikan tugas. Ini bisa Anda berikan dalam bentuk pendidikan, pelatihan dan pengalaman lapangan.
Atur ritme
Sebagai pemimpin, Anda harus yakin bahwa langkah Anda bisa diikuti oleh anggota tim. Agus menetapkan ritme yang konstan agar semua anggota tim bisa mengikuti iramanya. Sekaligus tahu kapan saatnya mempercepat dan memperlambat ritme kerja.
Kelola emosi dan energi
Prajurit-prajurit muda memiliki energi dan emosi yang tinggi karena semangat mereka yang tinggi. Pemimpin harus bisa mengarahkan emosi dan semangat mereka agar mereka tidak kehabisan energi sebelum mencapai tujuan.
Jaga kekompakan
Satu tim tidak boleh meninggalkan seorang anggota pun di belakang. Dengan mengatur ritme serta mengelola emosi dan energi secara bijak, semua anggota tim akan bisa mencapai tujuan bersama.
Sumber:
http://www.bestlife.co.id/lifestyle/the.good.life/pengawal.garuda/004/001/100
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment